Selasa, 30 Oktober 2012

Neles Tebay: Memilih Jalan Damai



        Oleh: Henrikus Cil
     
  Di tanah Jawa, ada seorang tokoh yang sangat menarik untuk dicermati. Dia adalah Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Semua keluarganya beragama Islam. Namun hanya Mgr. A. Soegijapranata, SJ yang pindah dan memutuskan untuk menjadi umat Katolik, beliau bahkan menjadi seorang pastor katolik. Terlebih lagi, beliau menjadi Uskup pribumi pertama di Indonesia pada masa penjajahan.

        Walupun telah menjadi seorang penganut agama katolik, Mgr. A. Soegijapranata,SJ tetap berpegang teguh pada filosfi Jawa yang telah diterima dari orang tua dan lingkungan tempat tinggalnya saat masih kecil. Malah setelah beliau menjadi pastor dan uskup, ia banyak mendidik orang Jawa dengan kombinasi ajaran Katolik dan dan filsafat Jawa. Sehingga banyak orang Jawa pada masa itu dapat dengan benar mengimani Tuhan dan menjadi Katolik karena Roh Kekatolikan yang dipupuknya di dada setiap insan.

        Hal yang dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ ini tidak kalah miripnya dengan yang dilakukan oleh seorang pater asal Papua, Neles Tebay, Pr. Pater Neles Tebay, Pr adalah seorang pater asal suku Mee yang semua anggota keluaganya menganut agama Katolik.Sejak kecil Pater Neles Tebay, Pr dididik secara katolik dilingkungan sekolah. Ia juga banyak mendapat didikan kebudayaan dari orang tua dan lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga dalam kehidupan menggerajanya saat ini, ia banyak menerapkan semua hal yang telah didapatinya sejak kecil tersebut.

        Pater Neles Tebay, Pr banyak menerima pendidikan Katolik sejak kecil. Ia menyelesaikan pendidikannya pada sekolah-sekolah yang dididik secara katolik oleh bangsa Belanda. Setelahnya ia menyelesaikan pendidikan S-1 dalam bidang Teologia pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologia Fajar Timur (STFT). Bahkan ia juga menyelesaikan program studi Master dalam dalam bidang Pastoral Studi pada Universitas Ateneo de Manila. Setelahnya, oleh Keuskupan Jayapura, beliau dikirim untuk memperlajari Misiologi pada Universitas Kepausan Urbania, Roma.

        Jika menyimak kembali perjalanan pendidikan Neles Tebay, Pr, akan terlihat jelas bahwa ia benar-benar terdidik secara Katolik. Hal ini berbeda dengan Mgr. A. Soegijapranata, SJ yang mulai mendapat pendidikan secara Katolik setelah masuk ke kolese Xaverius, Muntilan, yang dididik oleh para Pastor Yesuit (SJ). Kedua pater ini menyelesaikan sekolah tingkat menengah ke atas pada sekolah yang berbeda, tetapi mutu pendidikan dan tujuan hasil didikan relatif sama, yakni sekolah calon guru yang dididik oleh bangsa Belada di Indonesia.

        Untuk melanjutkan semua visi dan misi gereja katolik yang sudah ada di Indonesia, bangsa Belanda menyekolahkan orang-orang Indonesia yang memiliki minat untuk menjadi Pastor. Akhirnya Soegija dan siswa lain pergi ke Uden, Belanda, untuk meneruskan pendidikan sesuai dengan tujuan Gereja. Ia menjalani masa novisiat di Mariëndaal, Grave. Kemudian ia diperkenankan untuk belajar filsafat di Kolese Berchmann, Oudenbosch. Soegija juga diberi kesmpatan untuk belajar teologi di Maastricht, Belanda. Ia kemudian menjalani masa tersiat di Drongen, Belgia.

        Dalam hidupnya, Mgr. A. Soegijapranata, SJ banyak menulis. Tulisan yang dihasilkan berkisar tentang pandangannya terhadap masalah-masalah yang terjadi di Indodnesia dan perjalanan hidupnya. Dari cerita-cerita perjalanan hidup dan buku hariannya, Mgr. A. Soegijapranata, SJ memberi semacam pencerahan kepada bangsa Indonesi yang sedang ditindas, bagaimana bangkit, dan memperjuangkan hidup yang lebih baik, dengan cara yang bermartabat, sesuai dengan ajaran Gereja.

        Bahkan banyak upaya kemerdekaan dan penyelesaian masalah dengan para penjajah diselesaikannya dengan negosiasi. Karena negosisasi dapat menyelesaikan masalah tidak dengan pengorbanan jiwa tetapi lebih kepada pengertian antar sesama. Akhirnya banyak masalah dan kendala dapat teratasi dengan baik dan dalam keadaan damai.

        Bila Mgr. A. Soegijapranata, SJ menyelesaikan masalah dengan cara menggunakan kemampuan wawasan dan akal budi yang dimiliki, Neles Tebay, Pr pun melakukan hal yang sama. Neles Tebay, Pr juga banyak menulis untuk menyelesaikan banyak masalah yang terjadi di Papua. Bahkan ia juga menulis buku yang berjudul “DIALOG JAKARTA-PAPUA: Sebuah Prespektif Papua” demi menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai, yaitu berdialog.

        Di sisi lain, Mgr. A. Soegijapranata, SJ dan Neles Tebai, Pr juga sama-sama adalah pengajar yang baik sehingga mereka berdua banyak melahirkan leader Pastor katolik yang mampu mengembangkan agama Katolik di masa mendatang. Inilah keunikan kedua pastor Katolik itu, banyak kesamaan yang terdapat pada perjalanan karier mereka.

        Selain berupaya mempertahankan Gereja Katolik di bumi Indonesia, Mgr. A. Soegijapranata, SJ telah melakukan banyak hal yang memudahkan kemerdekaan Indonesia di mata Internasional. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ untuk memerdekakan Indonesia tidak dimuat dalam sejarah Nasional. Padahal jika dikaji lebih dalam tentang kehidupan Mgr. A. Soegijapranata, SJ di akhir masa penjajahan, ia mengorbankan banyak hal yang akhirnya memudahkan kemerdekaan.

        Orang Papua sekarang banyak bertanya, apakah Neles Tebay, Pr akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ, demi mencapai tujuan yang sama untuk Papua? Kepastiannya tidak dapat dipastikan saat ini. Kepastiannya akan ada setelah dialog antara pemerintah Pusat dan orang Papua secara umum dilaksanahkan.

        Ketua Komisi I DPR RI telah menyatakan setuju dilakukan Dialog bagi penyelesaian masalah Papua. bahkan gema Dialog Papua sudah tersebar dan tak dianggap tabu untuk dibicarakan. Tetapi ada upaya lain yang dilakukan, Komunikasi Kontruktif, yang digagas Presiden bagi penyelesaian masalah Papua. Rencana Neles Tebay, Pr yang telah dibukukan juga tidak ditanggapi oleh Presiden RI. Artinya dalam pemerintahan NKRI sendiri ada pihak yang setuju dengan gagasan dari Neles Tebay, Pr dan ada yang tidak sependapat. Banyak organisasi yang menyarakan aspirasi masyarakat, yang meminta pelurusan sejarah juga pesimis dengan rencana dialog yang digagar pater Neles Tebay. Itulah yang dialami Neles Tebay, Pr dalam mengupayakan “Papua Tanah Damai.”
        Apa yang dialami Neles Tebay, Pr nampaknya tidak dialami oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Mgr. A. Soegijapranata, SJ bahkan dengan mudah pernah mempertemukan tentara Sekutu yang berkuasa pada masa penjajahan dengan tentara Jepang demi menyelesaikan persoalan kedua pihak secara damai tanpa gencatan senjata. Artinya pada masa itu Mgr. A. Soegijapranata, SJ dapat dengan bebas bertindak untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan gagasannya.

        Dari semua penjelasan di atas nampak jelas bahwa kedua pastor memilih untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai, yaitu dengan cara mengelola akal budi dan menulis demi membuka pola pikir orang banyak. Jelas bahwa dari semua usaha yang mereka lakukan hanya berpangkal pada tujuan agar masyarakat mampu berpikir dan mengelola akal budi untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini seturut dengan iman yang mereka akui, karena dalam injilNya Yesus pernah berkata “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Tetapi balaslah kejahatan dengan kebaikan.”Mgr. A. Soegijapranata, SJ berhasil menerapkan perintah Yesus yang diimaninya sebagai Tuhan. Penerapannya diterapkan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maupun masalah yang hendak dihadapi masyaraka umum pada kehidupan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan kah Neles Tebay, Pr berhasil menerapkan perintah Yesus dalam hal dialog Jakar-Papua dan mampu melawan budaya Papua untuk memecahkan masalah dengan hal-hal yang berbau kekerasan?

        Nampaknya Neles Tebay, Pr akan menemui banyak batu sandungan dalam menerapkan perintah Yesus dalam hal dialog Jakarta-Papua. Kita lihat saja tanggapan Pemerintah Pusat sendiri selama ini terhadap rencana dialog. Pada pemerintah pusat saja terjadi perbedaan pendapat seperti yang dijelaskan di atas. Presiden juga nampaknya telah mempersiapkan caranya sendiri dalam upaya penyelesaian masalah Papua. Bahkan OPM dan beberapa kalangan orang Papua yang tergabung dalam organisasi-organisasi Papua Merdeka juga tidak sepaham dengan gagasan Neles Tebay, Pr.

        Sayang. Upaya perdamaian berlandaskan cinta kasih tidak ditanggapai serius, bahkan cenderung disepelekan dan ditentang. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah secara bermartabat dan terhormat, selain duduk bersama dan dialog? Entalah.

        Setelah membaca semua tulisan ini Anda tetunya akan berpikir para Pastor memiliki peranan penting dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Tetapi mereka tidak mengharapkan material apapun untuk membalas jasa dalam pemecahan masalah. Coba simak kutipan Mgr. A. Soegijapranata, SJ saat mendengar kabar bahwa ia telah dilantik oleh Paus menjadi Uskup Agung Semarang, dalam hati ia bertanya: “Mungkinkah seorang putra pribumi dari Jawa diajukan dalam usulan itu mengingat suasana pada saat itu di dalam situasi dimana imam dan Vikariat Apostolik Batavia sebagian besar masih merupakan orang-orang Belanda. Apakah terbayang bahwa orang-orang Belanda akan datang dan mencium cincin yang dikenakan oleh seorang uskup pribumi?”

        Artinya, para pastor melakukan banyak hal dengan senang hati. Namun, mungkinkah pertanyaan yang sama terlintas pada pikiran Neles Tebay, Pr setelah mengalami hal yang sama? Akankah pintu terbuka bagi orang pribumi? Akankah cara damai memenangi cara lainnya di atas tanah Damai, tanah Papua? Waktu kan menjawab. Namun, ada satu yang pasti: Sejarah ditorehkan manusia. Kita adalah pelaku sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar