Oleh: Henrikus Cil
Di tanah Jawa, ada seorang tokoh yang sangat
menarik untuk dicermati. Dia adalah Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Semua
keluarganya beragama Islam. Namun hanya Mgr. A. Soegijapranata, SJ yang pindah
dan memutuskan untuk menjadi umat Katolik, beliau bahkan menjadi seorang pastor
katolik. Terlebih lagi, beliau menjadi Uskup pribumi pertama di Indonesia pada
masa penjajahan.
Walupun telah menjadi seorang penganut
agama katolik, Mgr. A. Soegijapranata,SJ tetap berpegang teguh pada filosfi
Jawa yang telah diterima dari orang tua dan lingkungan tempat tinggalnya saat
masih kecil. Malah setelah beliau menjadi pastor dan uskup, ia banyak mendidik
orang Jawa dengan kombinasi ajaran Katolik dan dan filsafat Jawa. Sehingga
banyak orang Jawa pada masa itu dapat dengan benar mengimani Tuhan dan menjadi
Katolik karena Roh Kekatolikan yang dipupuknya di dada setiap insan.
Hal yang dilakukan oleh Mgr. A.
Soegijapranata, SJ ini tidak kalah miripnya dengan yang dilakukan oleh seorang
pater asal Papua, Neles Tebay, Pr. Pater Neles Tebay, Pr adalah seorang pater
asal suku Mee yang semua anggota keluaganya menganut agama Katolik.Sejak kecil
Pater Neles Tebay, Pr dididik secara katolik dilingkungan sekolah. Ia juga
banyak mendapat didikan kebudayaan dari orang tua dan lingkungan tempat
tinggalnya. Sehingga dalam kehidupan menggerajanya saat ini, ia banyak
menerapkan semua hal yang telah didapatinya sejak kecil tersebut.
Pater Neles Tebay, Pr banyak menerima
pendidikan Katolik sejak kecil. Ia menyelesaikan pendidikannya pada
sekolah-sekolah yang dididik secara katolik oleh bangsa Belanda. Setelahnya ia
menyelesaikan pendidikan S-1 dalam bidang Teologia pada Sekolah Tinggi Filsafat
dan Teologia Fajar Timur (STFT). Bahkan ia juga menyelesaikan program studi
Master dalam dalam bidang Pastoral Studi pada Universitas Ateneo de Manila.
Setelahnya, oleh Keuskupan Jayapura, beliau dikirim untuk memperlajari
Misiologi pada Universitas Kepausan Urbania, Roma.
Jika menyimak kembali perjalanan
pendidikan Neles Tebay, Pr, akan terlihat jelas bahwa ia benar-benar terdidik
secara Katolik. Hal ini berbeda dengan Mgr. A. Soegijapranata, SJ yang mulai
mendapat pendidikan secara Katolik setelah masuk ke kolese Xaverius, Muntilan,
yang dididik oleh para Pastor Yesuit (SJ). Kedua pater ini menyelesaikan
sekolah tingkat menengah ke atas pada sekolah yang berbeda, tetapi mutu
pendidikan dan tujuan hasil didikan relatif sama, yakni sekolah calon guru yang
dididik oleh bangsa Belada di Indonesia.
Untuk melanjutkan semua visi dan misi
gereja katolik yang sudah ada di Indonesia, bangsa Belanda menyekolahkan
orang-orang Indonesia yang memiliki minat untuk menjadi Pastor. Akhirnya
Soegija dan siswa lain pergi ke Uden, Belanda, untuk meneruskan pendidikan
sesuai dengan tujuan Gereja. Ia menjalani masa novisiat di Mariëndaal, Grave.
Kemudian ia diperkenankan untuk belajar filsafat di Kolese Berchmann,
Oudenbosch. Soegija juga diberi kesmpatan untuk belajar teologi di Maastricht,
Belanda. Ia kemudian menjalani masa tersiat di Drongen, Belgia.
Dalam hidupnya, Mgr. A. Soegijapranata,
SJ banyak menulis. Tulisan yang dihasilkan berkisar tentang pandangannya
terhadap masalah-masalah yang terjadi di Indodnesia dan perjalanan hidupnya.
Dari cerita-cerita perjalanan hidup dan buku hariannya, Mgr. A. Soegijapranata,
SJ memberi semacam pencerahan kepada bangsa Indonesi yang sedang ditindas, bagaimana
bangkit, dan memperjuangkan hidup yang lebih baik, dengan cara yang
bermartabat, sesuai dengan ajaran Gereja.
Bahkan banyak upaya kemerdekaan dan
penyelesaian masalah dengan para penjajah diselesaikannya dengan negosiasi.
Karena negosisasi dapat menyelesaikan masalah tidak dengan pengorbanan jiwa
tetapi lebih kepada pengertian antar sesama. Akhirnya banyak masalah dan
kendala dapat teratasi dengan baik dan dalam keadaan damai.
Bila Mgr. A. Soegijapranata, SJ
menyelesaikan masalah dengan cara menggunakan kemampuan wawasan dan akal budi
yang dimiliki, Neles Tebay, Pr pun melakukan hal yang sama. Neles Tebay, Pr
juga banyak menulis untuk menyelesaikan banyak masalah yang terjadi di Papua.
Bahkan ia juga menulis buku yang berjudul “DIALOG JAKARTA-PAPUA: Sebuah
Prespektif Papua” demi menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai, yaitu
berdialog.
Di sisi lain, Mgr. A. Soegijapranata,
SJ dan Neles Tebai, Pr juga sama-sama adalah pengajar yang baik sehingga mereka
berdua banyak melahirkan leader Pastor katolik yang mampu mengembangkan agama
Katolik di masa mendatang. Inilah keunikan kedua pastor Katolik itu, banyak
kesamaan yang terdapat pada perjalanan karier mereka.
Selain berupaya mempertahankan Gereja
Katolik di bumi Indonesia, Mgr. A. Soegijapranata, SJ telah melakukan banyak
hal yang memudahkan kemerdekaan Indonesia di mata Internasional. Tetapi semua
usaha yang dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ untuk memerdekakan
Indonesia tidak dimuat dalam sejarah Nasional. Padahal jika dikaji lebih dalam
tentang kehidupan Mgr. A. Soegijapranata, SJ di akhir masa penjajahan, ia
mengorbankan banyak hal yang akhirnya memudahkan kemerdekaan.
Orang Papua sekarang banyak bertanya,
apakah Neles Tebay, Pr akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh
Mgr. A. Soegijapranata, SJ, demi mencapai tujuan yang sama untuk Papua?
Kepastiannya tidak dapat dipastikan saat ini. Kepastiannya akan ada setelah
dialog antara pemerintah Pusat dan orang Papua secara umum dilaksanahkan.
Ketua Komisi I DPR RI telah menyatakan
setuju dilakukan Dialog bagi penyelesaian masalah Papua. bahkan gema Dialog
Papua sudah tersebar dan tak dianggap tabu untuk dibicarakan. Tetapi ada upaya
lain yang dilakukan, Komunikasi Kontruktif, yang digagas Presiden bagi
penyelesaian masalah Papua. Rencana Neles Tebay, Pr yang telah dibukukan juga
tidak ditanggapi oleh Presiden RI. Artinya dalam pemerintahan NKRI sendiri ada
pihak yang setuju dengan gagasan dari Neles Tebay, Pr dan ada yang tidak
sependapat. Banyak organisasi yang menyarakan aspirasi masyarakat, yang meminta
pelurusan sejarah juga pesimis dengan rencana dialog yang digagar pater Neles
Tebay. Itulah yang dialami Neles Tebay, Pr dalam mengupayakan “Papua Tanah
Damai.”
Apa yang dialami Neles Tebay, Pr
nampaknya tidak dialami oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Mgr. A.
Soegijapranata, SJ bahkan dengan mudah pernah mempertemukan tentara Sekutu yang
berkuasa pada masa penjajahan dengan tentara Jepang demi menyelesaikan
persoalan kedua pihak secara damai tanpa gencatan senjata. Artinya pada masa
itu Mgr. A. Soegijapranata, SJ dapat dengan bebas bertindak untuk menyelesaikan
masalah dengan menggunakan gagasannya.
Dari semua penjelasan di atas nampak
jelas bahwa kedua pastor memilih untuk menyelesaikan masalah dengan jalan
damai, yaitu dengan cara mengelola akal budi dan menulis demi membuka pola
pikir orang banyak. Jelas bahwa dari semua usaha yang mereka lakukan hanya
berpangkal pada tujuan agar masyarakat mampu berpikir dan mengelola akal budi
untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini seturut dengan iman yang mereka
akui, karena dalam injilNya Yesus pernah berkata “Jangan membalas kejahatan
dengan kejahatan. Tetapi balaslah kejahatan dengan kebaikan.”Mgr. A.
Soegijapranata, SJ berhasil menerapkan perintah Yesus yang diimaninya sebagai
Tuhan. Penerapannya diterapkan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maupun
masalah yang hendak dihadapi masyaraka umum pada kehidupan untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan kah Neles Tebay, Pr berhasil menerapkan
perintah Yesus dalam hal dialog Jakar-Papua dan mampu melawan budaya Papua
untuk memecahkan masalah dengan hal-hal yang berbau kekerasan?
Nampaknya Neles Tebay, Pr akan menemui
banyak batu sandungan dalam menerapkan perintah Yesus dalam hal dialog
Jakarta-Papua. Kita lihat saja tanggapan Pemerintah Pusat sendiri selama ini
terhadap rencana dialog. Pada pemerintah pusat saja terjadi perbedaan pendapat
seperti yang dijelaskan di atas. Presiden juga nampaknya telah mempersiapkan
caranya sendiri dalam upaya penyelesaian masalah Papua. Bahkan OPM dan beberapa
kalangan orang Papua yang tergabung dalam organisasi-organisasi Papua Merdeka
juga tidak sepaham dengan gagasan Neles Tebay, Pr.
Sayang. Upaya perdamaian berlandaskan
cinta kasih tidak ditanggapai serius, bahkan cenderung disepelekan dan
ditentang. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah secara bermartabat
dan terhormat, selain duduk bersama dan dialog? Entalah.
Setelah membaca semua tulisan ini Anda
tetunya akan berpikir para Pastor memiliki peranan penting dalam memecahkan
masalah-masalah sosial. Tetapi mereka tidak mengharapkan material apapun untuk
membalas jasa dalam pemecahan masalah. Coba simak kutipan Mgr. A.
Soegijapranata, SJ saat mendengar kabar bahwa ia telah dilantik oleh Paus
menjadi Uskup Agung Semarang, dalam hati ia bertanya: “Mungkinkah seorang putra
pribumi dari Jawa diajukan dalam usulan itu mengingat suasana pada saat itu di
dalam situasi dimana imam dan Vikariat Apostolik Batavia sebagian besar masih
merupakan orang-orang Belanda. Apakah terbayang bahwa orang-orang Belanda akan
datang dan mencium cincin yang dikenakan oleh seorang uskup pribumi?”
Artinya, para pastor melakukan banyak
hal dengan senang hati. Namun, mungkinkah pertanyaan yang sama terlintas pada
pikiran Neles Tebay, Pr setelah mengalami hal yang sama? Akankah pintu terbuka
bagi orang pribumi? Akankah cara damai memenangi cara lainnya di atas tanah
Damai, tanah Papua? Waktu kan menjawab. Namun, ada satu yang pasti: Sejarah
ditorehkan manusia. Kita adalah pelaku sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar