Oleh Longginus Pekey*)
MENURUT Andre Gunder Frank, pendukung teori kolonialisme, hukum kolonial biasanya menguntungkan negara yang koloni dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan bagi modernisasi dan demokrasi.
Bertentangan dengan pendapat di atas, Frantz Fanon peneori ketergantungan, mengemukakan, kolonialisme sebenarnya megarah pada pemindahan kekayaan dari daerah yang koloni ke daerah kolonis yang kesuksesan pengembangan ekonomi. Pendapat Fanon diperkuat oleh para pengkritik post-kolonialisme yang mengatakan bahwa kolonialisme sangat merusak politik, psikologi, dan moral negara/daerah koloni.
J. Horge Klor de Alva, membenarkan: dalam praktek kolonialisme ”di banyak tempat, penduduk aslinya, boleh dikatakan hampir-hampir lenyap setelah kontak, disapu secara fisis oleh penyakit dan perlakuan kejam, dan secara genetik dan sosial, oleh perkawinan campuran. Akhirnya, secara kultural oleh praktik-praktik religius dan politis, sebagaimana telah dialami penduduk hitam di benua Afrika, Indian di Amerika, Aborigin di Australia, Jawa di Nusantara dan Papua di masa Belanda dan Indonesia saat ini.
Pertentangan pendapat di atas itu mau menjelaskan kepada kita mengenai sisi positif dan negatifnya atau baik buruknya kolonialisme. Hal ini perlu kita lihat dari realitas, dari pengalaman sejarah kolonialisme di dunia. Ada orang yang dieksploitasi, dipenjara, dibunuh atau dianiaya.
Penduduk pribumi yang terhegemoni mewarisi budaya, karakter kolonial karena tidak terhindarkannya asimilasi dan akulturasi. Pendidikan, agama dan, birokrasi menjadi pintu masuk hegemonisasi yang akhirnya merusak karakter dan budaya pribumi, yang dianggap primitif, jorok, kotor oleh “kolonialis.”
Dalam hal ini, mental dan karakter kekerasan yang dulu hanya terjadi di pusat kekuasaan, tak terasa, berpindah dan mengakar di daerah-daerah koloni. Hannah Arendt, filsuf politik, menyebutnya banalitas kekerasan.
Dalam hal ini, mental dan karakter kekerasan yang dulu hanya terjadi di pusat kekuasaan, tak terasa, berpindah dan mengakar di daerah-daerah koloni. Hannah Arendt, filsuf politik, menyebutnya banalitas kekerasan.
Dengan cara pandang itu, kita amati, kekerasan struktural, seperti pelayanan publik yang pincang, keputusan dan pelaksanaan undang-undang yang sepihak dan tidak kontekstual. Gelar operasi militer (DOM), pelanggaran hak asasi manusia, menjalarnya suap-menyuap dan korupsi elite penguasa di pusat yang menular ke daerah.
Hingga saat ini, penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sejak 2002 belum signifikan menyelesiakan masalah sosial. Sebagian besar pribumi Papua masih didera kemiskinan.
Rumah-rumah sakit masih langka di daerah permukiman penduduk pribumi, terutama pelosok dan pedalaman. Kalau ada pusat-pusat kesehatan, hampir bisa dipastikan tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas pengobatan sangat minim. Jumlah orang sakit yang tak tertangani cenderung tidak menurun, begitu pula tingkat kematian.
Di daerah-daerah pedalaman, sekolah-sekolah belum menyebar rata. Di satu kabupaten, misalnya, hanya tersedia satu sampai dua SMP dan satu SMA. Itu pun, dengan guru dan fasilitas belajar sangat terbatas. Belum lagi, keberadaan guru di tempat karena bepergian ke kota. Di sekolah yang baik dan lengkap di kota, siswa pribumi kadang sedikit. Mereka banyak mengisi sekolah-sekolah pinggiran yang berkekurangan.
Di daerah-daerah pedalaman, sekolah-sekolah belum menyebar rata. Di satu kabupaten, misalnya, hanya tersedia satu sampai dua SMP dan satu SMA. Itu pun, dengan guru dan fasilitas belajar sangat terbatas. Belum lagi, keberadaan guru di tempat karena bepergian ke kota. Di sekolah yang baik dan lengkap di kota, siswa pribumi kadang sedikit. Mereka banyak mengisi sekolah-sekolah pinggiran yang berkekurangan.
Dalam situasi begini, arus migrasi ke Papua melaju deras. Semua peluang hidup seperti diserobot. Tak terasa, peluang kerja setempat banyak terebut penduduk migran dari luar Papua. Penduduk pribumi dianggap malas, tidak kreatif, tidak ulet.
Hasilnya, tampak jelas saat ini, terutama di kota-kota, warga Papua semakin minoritas. Pusat perbelanjaan, bisnis dan perhotelan kian menjamur. Warga asli Papua hanya menjadi konsumen dan penonton. Mama-mama penjual masih bernasib seperti sebelumnya: tertimpa panas dan hujan. Mereka dapat berjualan hanya di teras pasar atau di emperan toko. Kenyataan yang menjungkirbalikkan pasal-pasal Undang-Undang No. 21.
Tidak cuma peluang kerja di dinas dan instansi pemerintah yang lepas dari tangan para putra-putri Papua, tapi juga swasta. Papua tak ubahnya sebuah daerah koloni. Sumber : http: suara perempuan papua.org
*) guru sejarah, SMA Adhi Luhur, Nabire
0 komentar:
Posting Komentar