Kamis, 22 Desember 2011

Kebijakan Otsus Papua Benar Gagal di Implemtasikan

Ditinjau dari Aspek HAM Sebagai Amanat Otsus

Dapat mengukur dan mengatakan bahwa kebijakan  otsus gagal di implemntasikan  itu dilihat semua aspek. Tetapi   dalam tulisan ini, penulis mengukur dan melihat aspek HAM [Hak Asasi Manusia] yang katanya sudah menjadi amanat Otsus telah gagal diimplementasikan di Provinsi Papua.

Perlu di ketahui bahwa dalam Udang-Udang No. 21 Ketentuan Umum Point i. mengatakan  bahwa pemberlakuan kebijakan Otonomi Khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Sudah jalas mengatur dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa masalah Hak Asasi Manusia akan di lindungi karena itu sudah menjadi Amat Otonomi Khusus tetapi hal tersebut dinyatakan gagal karena pemerintah telah gagal untuk melindungi masyarakat Papua. Dan gagal dimplemntasikan amanat tersebut  karena aparat yang menjadi pengayom masyarakat saja menjadi pembunuh masyarakat sipil di tanah Papua. Sebagai bukti penulis akan paparkan di paragraph berikut ini adalah  kondisi  yang terjadi dilapangan setelah pemeberian Kebijakan Otonomi Khusus di Papua.

Sejak otonomi khusus digulirkan ditanah Papua telah  terjadi pelanggaran HAM, pada tanggal 10 November 2001 terjadi pembunuhan tokoh adat atau tokoh karismatik yaitu Dortheys Hiyo Eluay. Pembunuhan  ini dilakukan oleh Kopasusus sebagai pengayom masyarakat atau tugas sebagai menjaga tapal batas Negara  atau penjaga territorial. Koronologis pembunuhanya Theys diundang oleh Kopasus untuk menghadiri acara HUT  TNI di markas Kopasus dan pagi ditemukan tokoh karismatik telah tewas dan mengagetkan seluruh rakyat Papua [Sumbe: Buku Dr. Beny Giyai, Pembunuhan Theys  Hiyo Eluway,dan Maitnnya  Ham di Papua, tahun 2001]

Satelah pembunuhan tokoh karismatik di Papua ini maka terjadi banyak pula pelangaran HAM sebagai beriktu Wasior pada tahun 2003  yang menewaskan 4 orang warga sipil, Wamena 2005 yang mengorban 9 orang warga sipil, Kasus pembunuhan di Puncak Jaya 2009, kasus Obano yang menewaskan  5  orang warga sipil, kasus Nabire, Kasus Wagete menewaskan satu anak sekolah, Kasus Dogiyai tahun 2011 yang menewaskan 3 0rang warga sipil, dan pembunuhan kepada 3 masyarakat Papua pasca  kongres III Rakyat Papua  di Jayapura  serta kasus  Panembahkan Timika. Serta beberapa kasus pembunuhan secara diam-diam penulis belum ungkap.

Disusul dengan kasus pembunuhan Jendral  Kelly Kwalik pada tahun 2010 setelah dia diburuh oleh TNI dan Polri  dan gabungan Densus 88 selama ini. Dia dibunuh di Gorong-Gorong Timika, dengan timah panas yang katanya menjadi alat negara pelindung di masyarakat dan alat penjaga territorial. Kalau pemerintah Indonesia pernah bertanya, Mengapa Kellik berjuang? Jawaban Jendral Kelly Kwalik berjuang untuk menegahkan keadilan, kebenaran, di Indonesia dan Papua khususnya Rakyat Papua yang selama ini tidak diperhatikan kesejaterahan Ekoomi, Sosial Budaya dan pilitik yang telah di manipulasi oleh Negara ini.  Sangat disayangkan adalah dia dianggap teroris lalu dibunuh oleh pasukan yang disiapkan untuk membasmi teroris.

Setelah Jand. Kelly Kwalik Gugur berikutnya dikagetkan dengan peristiwa kematian Dr. Agus Alua S.Th, sebagai ketua MRP [Majelis Rakyat Papua], pada tahun 2011, dikantor kerjannya. Dia dibunuh dengan racun  pasca mengeluarkan SK 14 yang dalam isinya mengenai tuntutan atas  penegakan hak-hak dasar sebagai rakyat papua terutama kultur. Karena MRP dibentuk sebagai represntasi kultur budaya Papua. Setelah diajukan itu kepada pemerintah pusat dan Papua di tolak, karena bertentangan dengan kebijakan pusat, lalu jelang beberapa hari Bapak Agus meninggal di racun di Kantornya.

Itulah beberapa kasus yang terjadi setelah Papua digulirkan Kebijakan  Otonomi Khusus dengan tujuan untuk menjamin kesejaterahan masyarakat Papua. Hak asasi manusia [HAM] yang katanya menjadi amanat otsus untuk melindungi orang papua. Dengan melihat kasus yang terjadi tanah papua yang dilakukan oleh TNI  dan Polisi sebagai pengayom atau pelindung masyarakat dan Kasus-kasus tersebut di atas  tidak pernah diusut tuntas.  Karena merekalah yang melakukan dan merekala yang dapat menyelesaikan masalah. Padahal kita mengetahui bahwa Negara ini mengakui sebagai negara hukum, dan mengatakan bahwa semua makluk di depan hukum itu sama.

Dengan berbagai kasus yang terjadi setelah pemberian otsus ditanah Papua  dan terus terjadi hingga sekarang ini maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi khusus di Papua gagal di implemntasikan di tinjau [dilihat] dari HAM [Hak Asasi Manusia] sebagai amanat otsus yang telah di atur diketentuan umum point I tersebut.

Harapan dari tulisan ini mahasiswa sebagai agent  perubahan  atau tulang punggung bangsa Papua bisa menulis lebih dari penulis dengan data yang  Valid serta penulisan tajam dan jangan lupa meneliti dibidang lainnya. Agar dapat membongkar kebohongan Negara ini. Tetapi semuanya itu merupakan pilihan.  Agustinus Dogomo

0 komentar:

Posting Komentar