Ditinjau dari Aspek HAM Sebagai Amanat Otsus
Dapat mengukur dan mengatakan bahwa kebijakan otsus gagal di implemntasikan itu dilihat semua aspek. Tetapi dalam tulisan ini, penulis mengukur dan melihat aspek HAM [Hak Asasi Manusia] yang katanya sudah menjadi amanat Otsus telah gagal diimplementasikan di Provinsi Papua.
Perlu di ketahui bahwa dalam Udang-Udang No. 21 Ketentuan Umum Point i. mengatakan bahwa pemberlakuan kebijakan Otonomi Khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Sudah jalas mengatur dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa masalah Hak Asasi Manusia akan di lindungi karena itu sudah menjadi Amat Otonomi Khusus tetapi hal tersebut dinyatakan gagal karena pemerintah telah gagal untuk melindungi masyarakat Papua. Dan gagal dimplemntasikan amanat tersebut karena aparat yang menjadi pengayom masyarakat saja menjadi pembunuh masyarakat sipil di tanah Papua. Sebagai bukti penulis akan paparkan di paragraph berikut ini adalah kondisi yang terjadi dilapangan setelah pemeberian Kebijakan Otonomi Khusus di Papua.
Sejak otonomi khusus digulirkan ditanah Papua telah terjadi pelanggaran HAM, pada tanggal 10 November 2001 terjadi pembunuhan tokoh adat atau tokoh karismatik yaitu Dortheys Hiyo Eluay. Pembunuhan ini dilakukan oleh Kopasusus sebagai pengayom masyarakat atau tugas sebagai menjaga tapal batas Negara atau penjaga territorial. Koronologis pembunuhanya Theys diundang oleh Kopasus untuk menghadiri acara HUT TNI di markas Kopasus dan pagi ditemukan tokoh karismatik telah tewas dan mengagetkan seluruh rakyat Papua [Sumbe: Buku Dr. Beny Giyai, Pembunuhan Theys Hiyo Eluway,dan Maitnnya Ham di Papua, tahun 2001]
Satelah pembunuhan tokoh karismatik di Papua ini maka terjadi banyak pula pelangaran HAM sebagai beriktu Wasior pada tahun 2003 yang menewaskan 4 orang warga sipil, Wamena 2005 yang mengorban 9 orang warga sipil, Kasus pembunuhan di Puncak Jaya 2009, kasus Obano yang menewaskan 5 orang warga sipil, kasus Nabire, Kasus Wagete menewaskan satu anak sekolah, Kasus Dogiyai tahun 2011 yang menewaskan 3 0rang warga sipil, dan pembunuhan kepada 3 masyarakat Papua pasca kongres III Rakyat Papua di Jayapura serta kasus Panembahkan Timika. Serta beberapa kasus pembunuhan secara diam-diam penulis belum ungkap.
Disusul dengan kasus pembunuhan Jendral Kelly Kwalik pada tahun 2010 setelah dia diburuh oleh TNI dan Polri dan gabungan Densus 88 selama ini. Dia dibunuh di Gorong-Gorong Timika, dengan timah panas yang katanya menjadi alat negara pelindung di masyarakat dan alat penjaga territorial. Kalau pemerintah Indonesia pernah bertanya, Mengapa Kellik berjuang? Jawaban Jendral Kelly Kwalik berjuang untuk menegahkan keadilan, kebenaran, di Indonesia dan Papua khususnya Rakyat Papua yang selama ini tidak diperhatikan kesejaterahan Ekoomi, Sosial Budaya dan pilitik yang telah di manipulasi oleh Negara ini. Sangat disayangkan adalah dia dianggap teroris lalu dibunuh oleh pasukan yang disiapkan untuk membasmi teroris.
Setelah Jand. Kelly Kwalik Gugur berikutnya dikagetkan dengan peristiwa kematian Dr. Agus Alua S.Th, sebagai ketua MRP [Majelis Rakyat Papua], pada tahun 2011, dikantor kerjannya. Dia dibunuh dengan racun pasca mengeluarkan SK 14 yang dalam isinya mengenai tuntutan atas penegakan hak-hak dasar sebagai rakyat papua terutama kultur. Karena MRP dibentuk sebagai represntasi kultur budaya Papua. Setelah diajukan itu kepada pemerintah pusat dan Papua di tolak, karena bertentangan dengan kebijakan pusat, lalu jelang beberapa hari Bapak Agus meninggal di racun di Kantornya.
Itulah beberapa kasus yang terjadi setelah Papua digulirkan Kebijakan Otonomi Khusus dengan tujuan untuk menjamin kesejaterahan masyarakat Papua. Hak asasi manusia [HAM] yang katanya menjadi amanat otsus untuk melindungi orang papua. Dengan melihat kasus yang terjadi tanah papua yang dilakukan oleh TNI dan Polisi sebagai pengayom atau pelindung masyarakat dan Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah diusut tuntas. Karena merekalah yang melakukan dan merekala yang dapat menyelesaikan masalah. Padahal kita mengetahui bahwa Negara ini mengakui sebagai negara hukum, dan mengatakan bahwa semua makluk di depan hukum itu sama.
Dengan berbagai kasus yang terjadi setelah pemberian otsus ditanah Papua dan terus terjadi hingga sekarang ini maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi khusus di Papua gagal di implemntasikan di tinjau [dilihat] dari HAM [Hak Asasi Manusia] sebagai amanat otsus yang telah di atur diketentuan umum point I tersebut.
Harapan dari tulisan ini mahasiswa sebagai agent perubahan atau tulang punggung bangsa Papua bisa menulis lebih dari penulis dengan data yang Valid serta penulisan tajam dan jangan lupa meneliti dibidang lainnya. Agar dapat membongkar kebohongan Negara ini. Tetapi semuanya itu merupakan pilihan. Agustinus Dogomo
Perlu di ketahui bahwa dalam Udang-Udang No. 21 Ketentuan Umum Point i. mengatakan bahwa pemberlakuan kebijakan Otonomi Khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara. Sudah jalas mengatur dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa masalah Hak Asasi Manusia akan di lindungi karena itu sudah menjadi Amat Otonomi Khusus tetapi hal tersebut dinyatakan gagal karena pemerintah telah gagal untuk melindungi masyarakat Papua. Dan gagal dimplemntasikan amanat tersebut karena aparat yang menjadi pengayom masyarakat saja menjadi pembunuh masyarakat sipil di tanah Papua. Sebagai bukti penulis akan paparkan di paragraph berikut ini adalah kondisi yang terjadi dilapangan setelah pemeberian Kebijakan Otonomi Khusus di Papua.
Sejak otonomi khusus digulirkan ditanah Papua telah terjadi pelanggaran HAM, pada tanggal 10 November 2001 terjadi pembunuhan tokoh adat atau tokoh karismatik yaitu Dortheys Hiyo Eluay. Pembunuhan ini dilakukan oleh Kopasusus sebagai pengayom masyarakat atau tugas sebagai menjaga tapal batas Negara atau penjaga territorial. Koronologis pembunuhanya Theys diundang oleh Kopasus untuk menghadiri acara HUT TNI di markas Kopasus dan pagi ditemukan tokoh karismatik telah tewas dan mengagetkan seluruh rakyat Papua [Sumbe: Buku Dr. Beny Giyai, Pembunuhan Theys Hiyo Eluway,dan Maitnnya Ham di Papua, tahun 2001]
Satelah pembunuhan tokoh karismatik di Papua ini maka terjadi banyak pula pelangaran HAM sebagai beriktu Wasior pada tahun 2003 yang menewaskan 4 orang warga sipil, Wamena 2005 yang mengorban 9 orang warga sipil, Kasus pembunuhan di Puncak Jaya 2009, kasus Obano yang menewaskan 5 orang warga sipil, kasus Nabire, Kasus Wagete menewaskan satu anak sekolah, Kasus Dogiyai tahun 2011 yang menewaskan 3 0rang warga sipil, dan pembunuhan kepada 3 masyarakat Papua pasca kongres III Rakyat Papua di Jayapura serta kasus Panembahkan Timika. Serta beberapa kasus pembunuhan secara diam-diam penulis belum ungkap.
Disusul dengan kasus pembunuhan Jendral Kelly Kwalik pada tahun 2010 setelah dia diburuh oleh TNI dan Polri dan gabungan Densus 88 selama ini. Dia dibunuh di Gorong-Gorong Timika, dengan timah panas yang katanya menjadi alat negara pelindung di masyarakat dan alat penjaga territorial. Kalau pemerintah Indonesia pernah bertanya, Mengapa Kellik berjuang? Jawaban Jendral Kelly Kwalik berjuang untuk menegahkan keadilan, kebenaran, di Indonesia dan Papua khususnya Rakyat Papua yang selama ini tidak diperhatikan kesejaterahan Ekoomi, Sosial Budaya dan pilitik yang telah di manipulasi oleh Negara ini. Sangat disayangkan adalah dia dianggap teroris lalu dibunuh oleh pasukan yang disiapkan untuk membasmi teroris.
Setelah Jand. Kelly Kwalik Gugur berikutnya dikagetkan dengan peristiwa kematian Dr. Agus Alua S.Th, sebagai ketua MRP [Majelis Rakyat Papua], pada tahun 2011, dikantor kerjannya. Dia dibunuh dengan racun pasca mengeluarkan SK 14 yang dalam isinya mengenai tuntutan atas penegakan hak-hak dasar sebagai rakyat papua terutama kultur. Karena MRP dibentuk sebagai represntasi kultur budaya Papua. Setelah diajukan itu kepada pemerintah pusat dan Papua di tolak, karena bertentangan dengan kebijakan pusat, lalu jelang beberapa hari Bapak Agus meninggal di racun di Kantornya.
Itulah beberapa kasus yang terjadi setelah Papua digulirkan Kebijakan Otonomi Khusus dengan tujuan untuk menjamin kesejaterahan masyarakat Papua. Hak asasi manusia [HAM] yang katanya menjadi amanat otsus untuk melindungi orang papua. Dengan melihat kasus yang terjadi tanah papua yang dilakukan oleh TNI dan Polisi sebagai pengayom atau pelindung masyarakat dan Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah diusut tuntas. Karena merekalah yang melakukan dan merekala yang dapat menyelesaikan masalah. Padahal kita mengetahui bahwa Negara ini mengakui sebagai negara hukum, dan mengatakan bahwa semua makluk di depan hukum itu sama.
Dengan berbagai kasus yang terjadi setelah pemberian otsus ditanah Papua dan terus terjadi hingga sekarang ini maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi khusus di Papua gagal di implemntasikan di tinjau [dilihat] dari HAM [Hak Asasi Manusia] sebagai amanat otsus yang telah di atur diketentuan umum point I tersebut.
Harapan dari tulisan ini mahasiswa sebagai agent perubahan atau tulang punggung bangsa Papua bisa menulis lebih dari penulis dengan data yang Valid serta penulisan tajam dan jangan lupa meneliti dibidang lainnya. Agar dapat membongkar kebohongan Negara ini. Tetapi semuanya itu merupakan pilihan. Agustinus Dogomo
0 komentar:
Posting Komentar